Senin, 08 Februari 2016

MAKALAH ANALISIS HERMENEUTIKA PADA PUISI ABDUL WACHID B.S






DANU ADY SETYAWAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sansekerta; akar kata hs-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi.Akhiran –trabisa menunjukan alat atau sarana.Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran (A. Teeuw, 1984).[1]
Karya sastra adalah hasil cipta karya manusia yang berupa fiksi yang di dalamnya terdapat pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penulis, baik yang memang merupakan karangan atau kisah pengalaman hidup penulis.Puisi berasal dari bahasa Yunani “poiesis” yang berarti penciptaan. Puisi merupakan sebuah ekspresi yang mampu membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indra. Dalam menulis sajak-sajak puisi, seorang penyair pasti mempunyai ciri khas yang berbeda dibandingkan penyair-penyair lain. Baik dalam memainkan metafora, tanda, simbol, bahkan dalam pemenggalan kata.
Untuk memahami isi sebuah puisi tentulah sulit, bahkan dalam beberapa puisi yang ditulis seorang menjadi sangat sulit kita pahami.Bisa dimaklumi, karena yang ditulis seorang mungkin bukanlah puisi, melainkan kedalaman hidup. Baik dalam hubungan sosial penulis, maupun hubungan penulis dengan sang pencipta.
Maka dari itu, untuk memahami suatu karya sastra terutama puisi, perlulah kita melakukan suatu analisis terhadapnya.Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menganalisis sebuah puisi adalah teori hermeneutika. Oleh sebab itu, penulis akan mencoba memahami sebuah puisi karya Abdul Wachid B.S, yang berjudul “Sembah Hyang”, melalui teori hermeneutika yang diungkapkan oleh Paul Ricoeur.


B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana metafora dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid  B.S.?
2.      Bagaimana simbol dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S.?
3.      Bagaimana konsep dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S.?

C.     TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.      Mengetahui dan memahami metafora yang terkandung dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S.
2.      Mencari dan memahami simbol yang terkandung dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S.
3.      Memahami konsep yang terkandung dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S.

D.    LANDASAN TEORI
1.      TEORI HERMENEUTIKA
Hermeneutik adalah kata yang sering terdengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra.Hermeneutik baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi protestan eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang.
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi”,. Penjelasan dua kata ini, dan tiga bentuk dasar makna dalam pemakaian aslinya, membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi dalam teologi dan sastra, dan dalam konteks sekarang ia menjadi keywords untuk memahami hermeneutika modern.
“Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir, hermeneutik adalah bagian dari seni berfikir itu, dan oleh karenanya bersifat filosofis” (Scheleiermacher, 1977:97 via E.Sumarno).
Yang dimaksud oleh Scheleimacher adalah bahwa ada jurang pemisah antara berbicara atau berfikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual.Kita harus mampu mengadaptasi buah pikiran kedalam kekhasan lagak ragam dan tata bahasa. Dalam setiap kalimat yang diucapkan, terdapat dua momen pemahaman, yaitu apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicara. Setiap pembicara memiliki waktu dan tempat, dan bahasa dimodifikasi menurut kedua hal tersebut. Menurut Scheleimacher pemahaman hanya terdapat didalam kedua momen yang saling berpautan satu sama lain itu. Baik bahasa maupun pembicaranya harus dipahami sebagaimana seharusnya.
Sedangkan Paul Recour mendefinisikan hermeneutik sebagai berikut: “Hermeneutik adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks”.
Berbeda dengan Scheleiermacher yang meletakan hermeneutika pada bahasa dan berbicara, Paul Ricoeur memeperluas definisinya dengan menambahkan “perhatian kepada teks”.Ricoeur, menjelaskan bahwa teks adalah seitiap diskursus yang dibakukan lewat tulisan.Apa yang dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan.(Ricoeur 1981)[2]
Teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan symbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutika karena budaya oral (ucapan) dapat dipersempit. Hermeneutika pada hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata yang diucapkan. Recoeur menegaskan bahwa definisi yang tidak terlalu luas justru memiliki intensitas.
Dari pendapat dua tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah studi tentang peranan bahasa dalam komunikasi dan proses-proses berfikir, serta khususnya dalam persoalan yang menyangkut bagaimana mengidentifikasi, memahami atai meyakini bahwa makna muncul pada saat bahasa dipergunakan, baik secara lisan maupun tulisan.
2.      TEORI METAFORA
Metafora, kata Monroe adalah “puisi dalam miniatur”.Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makna figuratif dalam karya sastra.Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit.Di dalam tradisi positivisme logis, perbedaan makna antara bahasa kognitif dan emotif, yang kemudian dialihkan menjadi perbedaan menjadi vokabuler denotasi dan konotasi.Denotasi dianggap sebagai makna kognitif yang merupakan tatanan semantik, sedangkan konotasi adalah ekstra-semantik.Konotasi terdiri atas seruan-seruan emotif yang terjadi serentak yang nilai kognitifnya dangkal.Dengan demikian, arti figurative suatu teks harus dilihat sebagai hilangnya makna kognitif apapun.Karya sastra dibuka oleh saling berpengaruhnya makna-makna ini, yang memusatkan analisisnya pada desain herbal, yaitu karya wacana yang menghasilkan ambiguitas semantik yang mencirikan suatu karya sastra.Karya wacana inilah yang dapat dilihat dalam miniatur dalam metafora (Ricoeur).[3]
Dalam retorika tradisional, metorika digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata, atau lebih tepatnya proses denominasi. Tujuan majas adalah mengisi tempat kosong semantik dalam kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh karena itu, metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kata itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasanya (Ricoeur).[4]
Retorika klasik sebagai majas metafora dipandang sebagai substitusi sederhana dari kata satu untuk kata yang lain. Metafora klasik hanya mencakup satu ‘bagian’ dari apa yang disebut Aristoteles dengan diksi, yaitu salah satu dari sekumpulan prosedur diskursif, penggunaan kata-kata yang tidak lazim, menciptakan kata-kata baru, mempersingkat atau memperpanjang kata-kata, yang semua menyimpang dari penggunaan kata-kata secara umum (Ricoeur, 1981: 179via Heru Kurniawan). Konsep metafora klasik di atas, oleh Ricoeur (1976: 61 via Heru Kurniawan) disebut dengan metafora mati (death metaphor). Metafora secara kreatif terjadi karena pesan paling sederhana yang disampaikan melalui bahasa yang alami harus ditafsirkan, karena semua kata memiliki arti lebih dari satu (polisemi) dan baru mendapatkan aktualnya jika dikaitkan dengan konteks, dan audien yang ada, dan bukan dengan latar belakang situasi (Ricoeur, 1977: 125 via Heru Kurniawan). Metafora hidup atau inventif merupakan inovasi semantik yang bagian arti dari tatanan predikatif (kesesuaian baru) sekaligus tatanan (penyimpangan paradigmatis) (Ricoeur, 1977: 156-157 via Heru Kurniawan).
Dengan demikian, konsep metafora menurut Paul Ricoeur dapat disimpulkan; (1) metafora terjadi pada wilayah interpretasi dalam satu proposisi yang ditandai oleh unsur predikasi.Metafora merupakan ketegangan (tension) pada dua dunia (kata) yang berbeda (difference) karena adanya keserupaan (resemblance) yang ditandai oleh kehadiran predikasi-universal.Hal ini mengakibatkan ketegangan dalam metafora sesungguhnya tidak dapat diparafrasekan, artinya, kalaupun bisa, parafrase semacam ini tidak terbatas dan tidak mampu menjelaskan makna inivatifnya atau makna tambah (surplus meaning); (2) metafora bukanlah hiasan wacana.Metafora memiliki lebih dari hanya nilai emotif karena metafora memberi informasi baru.Metafora hakikatnya menceritakan realitas baru yang dikonstruksi oleh wacana.[5]

3.      TEORI SIMBOL
Kata “simbol” yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti “menghubungkan atau menggabungkan” .symbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur, yang menandai suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti gandanya.

Ricouer merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer, harfiah, yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak langsung sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama Ricouer mendefinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama.
Simbolisasi adalah figurasi analogis, dan dapat disamakan dengan metafora, yaitu mengganti sebuah ujaran dengan penanda yang lain, bukan dengan penanda terdekat seperti dalam metonimi, tetapi dengan penenda yang mempunyai kemiripan dengan penanda yang lain, bukan dengan penanda yang mempunyai kemiripan dengan penanda yang pertama.Tentu saja di sini antara bahasa mimpi dengan bahasa sastra menemukam perbedaan, dalam bahasa mimpi berupa mekanisme tak sadar, sedangkan dalam bahasa sastra berupa tindakan sadar.“Setiap kata adalah Simbol”, demikian ditegaskan Paul Ricoeur (via Sumayono).[6]






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sajak “ Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S

SEMBAH HYANG
duh gusti allah
menyembah panjenengan
bukan sebab keterbatasan
justru cinta tahu semesta tak terhinga

untuk apa membutuhkan tempat
sidratul muntaha kenjeng nabi
mendapatkan dhawuh shalat
bila bukan sebab lambang maha terhormat

shalat itu pasujudan
dari kemuliaan manusia
shalat itu pasujudan
dari pengetahuan manusia

hamba hanyalah setitik hitam
dari umatnya kanjeng nabi
hamba hanya merasa
cintadan kasihsayang panjenengan

bila kanjeng nabi lewat mi’raj
berhadaphadapan dengan panjenengan
bila hamba lewat kanjeng nabi
lewat shalat merasakan ada panjenengan

duh gusti allah
menyembah panjenengan
bukan sebab keterbatasan
justru cinta tahu semesta tak terhingga

maka
hamba angkat tangan
ke arah kiblat panjenengan
allahu akbar…..

B.     Metafora dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S
Judul “sembah hyang” dalam puisi di atas menunjukan bahwa sang penyair adalah seorang yang begitu mengenal tuhan. Kata “sembah” pada judul ini berarti pernyataan hormat dan khidmat bahkan berserah.Sedangkan makna “Hyang” di sini dapat berarti dzat yang di anggap maha.Dzat sangat besar yang dianggap menguasai seluruh alam semesta ini. Bila di jawa kita sering mendengar orang menyebut Sang Hyang Tunggal yang berarti sang maha Esa, sang Hyang Wenang berarti sang maha kuasa, sang Hyang Widhi dan lain sebagainya. Hyang disini berarti maha.
Jadi Sembah Hyang dapat dimaknai sebagai rasa penghormatan, khidmat, bahkan berserah atas dirinya kepada dzat yang dianggap maha, yang dianggap sangat besar dimana dzat tersebut mempunyai hak periogratif atas dirinya.Dimana manusia menggantungkan hidup kepadaNya.

BAIT 1
duh gusti allah
menyembah panjenengan
bukan sebab keterbatasan
justru cinta tahu semesta tak terhinga

Pada bait pertama ini adalah pengakuan penyair kepada tuhan, bahwa dirinya melakukan suatu ibadah bukanlah karena dirinya tahu bahwa dirinya hanyalah makhluk yang penuh dengan keterbatasan. Akan tetapi cinta penyair terhadap tuhan yang maha besar yang menguasai semestalah, yang membuat penyair bersujud kepada diriNya.Walaupun penyair menyatakan menyatakan bahwa dirinya menyembah karena cinta dan bukan karena dirinya adalah makhluk yang memiliki keterbatasan, namun penyair juga ingin mengingatkan bahwa kita (manusia) adalah makhluk yang memang serba terbatas.Keterbatasan manusia ini dibandingkan oleh penyair dengan luasnya semesta raya ini.

BAIT 2
untuk apa membutuhkan tempat
sidratul muntaha kenjeng nabi
mendapatkan dhawuh shalat
bila bukan sebab lambang maha terhormat

Pada bait kedua ini penyair menyatakan bahwa, Allah adalah dzat yang maha terhormat. Ini tercermin dalam perintah shalat yang diperintahkan kepada manusia melalui peristiwa Isra’ Mi’raj oleh kanjeng Nabi Muhammad.Sehingga dari perintah shalat yang di inginkan Allah adalah bahwa setiap manusia harus selalu mengingat tentang keberadaan Allah itu sendiri. Terutama manusia harus mengingatnya melalui shalat wajib lima waktu.

BAIT 3
shalat itu pasujudan
dari kemuliaan manusia
shalat itu pasujudan
dari pengetahuan manusia

Bait ketiga ini mengatakan bahwa, shalat itu akan mengingatkan kepada manusia bahwa tidak ada kemuliaan didunia ini yang perlu dibanggakan. Karena tak satu pun kemuliaan di dunia ini yang melebihi kemuliaan Allah. Maka seseorang harus tetap ingat kepada Allah dengan cara bersujud kepadaNya. Begitu juga seorang yang berilmu, seorang yang cerdas, pintar dia harus tetap ingat kepada Allah sebagai dzat yang memberinya semua itu.Intinya manusia janganlah terlalu membanggakan jabatan, pangkat, ilmu pengetahuan dan segala yang bersifat sementara ini.Maka kita harus tetap bersujud merendahkan diri kita dihadapan Allah yang maha mulia, dan yang menguasai seluruh alam semesta ini termasuk segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini.

BAIT 4
hamba hanyalah setitik hitam
dari umatnya kanjeng nabi
hamba hanya merasa
cinta dan kasihsayang panjenengan
Ini adalah pengakuan dari penyair yang mewakili setiap individu umat islam di seluruh dunia. Bahwa kita sebagai individu hanyalah sebagian kecil dan sangat kecil dari umat pengikut nabi Muhammad.Maka yang yang kita harapkan hanyalah kasih sayang Allah kepada kita.Karena hanya kasih sayang Allah lah yang menjadi pegangan atau pelindung diri kita untuk melangkah menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan Allah kepada kita. Dengan rasa cinta kita kepada Allah maka seluruh masalah kehidupan di bumi ini akan terasa ringan.
BAIT 5
bila kanjeng nabi lewat mi’raj
berhadaphadapan dengan panjenengan
bila hamba lewat kanjeng nabi
lewat shalat merasakan ada panjenengan

Bait ini menceritakan ketika Muhammad melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj untuk mendapatkan perintah shalat.Nabi berhadapan langsung dengan Allah. Tapi umat islamdapat berhadapan dengan Allah melalui oleh-oleh yang di bawa Muhammad ketika perjalanan Isra’ Mi’raj, yaitu shalat. Dengan shalat umat islamakan merasakan berhadapan dengan Allah.
BAIT 6
duh gusti allah
menyembah panjenengan
bukan sebab keterbatasan
justru cinta tahu semesta tak terhingga
Bait ini sama seperti bait pertama, yaitu berisi tentang pengakuan penyair bahwa dia menyembah tuhan bukan karena penyair adalah makhluk yang mempunyai keterbatasan. Namun karena cinta penyair terhadap tuhanlah yang menjadi alasan dirinya untuk menyembah (shalat).
BAIT 7
maka
hamba angkat tangan
ke arah kiblat panjenengan
allahu akbar…..
Maka hamba (penyair) mengangkat tangan ke arah kiblat dengan melafalkan allahu akbar… takbiratul ikhram pertanda memulai shalat.

C.     Analisis Simbol dalam Sajak “Sembah Hyang”
1.      Sidratul muntaha
Kata ini muncul pada bait ke dua. Dalam kalimat “sidratul muntaha kanjeng nabi”, ini menggambarkan bahwa “sidratulmuntaha” adalah tempat dimana Allah memanggil kekasihnya yaitu kanjeng Nabi Muhammad untuk saling berhadapan. Jadi maksud dari kalimat ini adalah proses menghadapnya Nabi Muhammad pada Allah.

2.      Pasujudan
Kata ini muncul dua kali pada bait ke tiga. Dalam kalimat “shalat itu pasujudan”.Pasujudan mengambarkan tentang kepasrahan, pengabdian, berserah diri, mengingat dan lain sebagainya.Dalam kalimat tersebut berarti bahwa shalat merupakan sarana manusia untuk selalu mengingat Allah.
3.      Setitik Hitam
Kata ini muncul dalam bait ke empat. Dalam kalimat “hamba hanyalah setitik hitam”.Setitik hitam menggambarkan bahwa sesuatu hanyalah sebagian kecil bahkan sangat kecil dibandingkan hal-hal disekitarnya. Contoh: hamba hanyalah setitik hitam dari umat kanjeng nabi. Berarti bahwa hamba hanyalah sebagian kecil bahkan sangat kecil dari umat kanjeng nabi.

D.    Konsep Mistisme Sembah Hyang dalam Sajak “Sembah Hyang”
Sembah Hyang dapat dimaknai sebagai rasa penghormatan, khidmat, bahkan berserah atas dirinya kepada dzat yang dianggap maha, yang dianggap sangat besar dimana dzat tersebut mempunyai hak periogratif atas dirinya.Dimana manusia menggantungkan hidup kepadaNya.











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid BS ini menceritakan tentang pengungkapan cinta kepada Allah melalui ibadah shalat.Shalat adalah sarana untuk mengingat tuhan, serta merasa bahwa diri kita bukanlah siapa-siapa di dunia ini tanpa kita berpegang teguh dengan kebesaran tuhan.Sajak ini merupakan pengakuan bahwa tiada yang lebih mulia, lebih besar, lebih segalanya dibandingkan Allah yang maha segalanya.
Kedekatan penyair dengan Allah dalam iktan cinta sangat terasa dalam sajak ini.Penyair begitu akrab dengan kejadian-kejadian yang di baliknya mengandung makna-makna yang tak mampu dilihat kebanyakan orang. Dimana orang kebanyakan merasakan bahwa shalat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, akan tetapi penyair menemukan bahwa dibalik shalat itu bukanlah kewajiban semata, melainkan kenikmatan bercinta dengan sang Esa.











DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Arif. 2015. Aplikasi Teori Hermeneutika dan Wacana Kritis. Purwokerto: Kaldera
Kurniawan, Heru. 2013. Mistisme Cahaya. Purwokerto: Kaldera
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sisial. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Sumaryono, E. 1999.Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Teeuw, A. 1984, Sastra dan Ilmu Sastra, Bandung: Pustaka Jaya




[1] A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Bandung: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 20.
[2] Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial(Bantul: Kreasi Wacana, 2006), hlm. 196. (terjemahan dari buku, “Hermeneutics and the human sciences”, Paul Ricoeur).
[3] Heru kurniawan, Mistisme Cahaya, (Purwokerto: Kaldera, 2013), hlm 22.
[4]Ibid., hlm. 23.
[5]  Heru kurniawan, Mistisme Cahaya, (Purwokerto: Kaldera, 2013), hlm.26.
[6] Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Ilmu Filsafat(Sleman: PT. Kanisius, 1999), hlm. 105.