DANU ADY SETYAWAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa sansekerta; akar kata hs-,
dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau
instruksi.Akhiran –trabisa menunjukan
alat atau sarana.Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku
petunjuk, buku instruksi atau pengajaran (A. Teeuw, 1984).[1]
Karya sastra adalah hasil cipta karya manusia yang
berupa fiksi yang di dalamnya terdapat pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh
penulis, baik yang memang merupakan karangan atau kisah pengalaman hidup
penulis.Puisi berasal dari bahasa Yunani “poiesis” yang berarti penciptaan.
Puisi merupakan sebuah ekspresi yang mampu membangkitkan perasaan, merangsang
imajinasi panca indra. Dalam menulis sajak-sajak puisi, seorang penyair pasti
mempunyai ciri khas yang berbeda dibandingkan penyair-penyair lain. Baik dalam
memainkan metafora, tanda, simbol, bahkan dalam pemenggalan kata.
Untuk memahami isi sebuah puisi tentulah sulit, bahkan
dalam beberapa puisi yang ditulis seorang menjadi sangat sulit kita pahami.Bisa
dimaklumi, karena yang ditulis seorang mungkin bukanlah puisi, melainkan
kedalaman hidup. Baik dalam hubungan sosial penulis, maupun hubungan penulis
dengan sang pencipta.
Maka dari itu, untuk memahami suatu karya sastra
terutama puisi, perlulah kita melakukan suatu analisis terhadapnya.Salah satu
cara yang dapat digunakan untuk menganalisis sebuah puisi adalah teori
hermeneutika. Oleh sebab itu, penulis akan mencoba memahami sebuah puisi karya
Abdul Wachid B.S, yang berjudul “Sembah Hyang”, melalui teori hermeneutika yang
diungkapkan oleh Paul Ricoeur.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
metafora dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S.?
2. Bagaimana
simbol dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S.?
3. Bagaimana
konsep dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S.?
C. TUJUAN
PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang tersebut diatas,
maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui
dan memahami metafora yang terkandung dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul
Wachid B.S.
2. Mencari
dan memahami simbol yang terkandung dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul
Wachid B.S.
3. Memahami
konsep yang terkandung dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S.
D. LANDASAN
TEORI
1. TEORI
HERMENEUTIKA
Hermeneutik
adalah kata yang sering terdengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan
sastra.Hermeneutik baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi
protestan eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus”
dari isu-isu teologis sekarang.
Akar
kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein, yang
berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi”,. Penjelasan
dua kata ini, dan tiga bentuk dasar makna dalam pemakaian aslinya, membuka wawasan
pada karakter dasar interpretasi dalam teologi dan sastra, dan dalam konteks
sekarang ia menjadi keywords untuk memahami hermeneutika modern.
“Semenjak
seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain, maka berbicara
hanya merupakan sisi luar dari berpikir, hermeneutik adalah bagian dari seni
berfikir itu, dan oleh karenanya bersifat filosofis” (Scheleiermacher, 1977:97
via E.Sumarno).
Yang
dimaksud oleh Scheleimacher adalah bahwa ada jurang pemisah antara berbicara
atau berfikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual.Kita harus mampu
mengadaptasi buah pikiran kedalam kekhasan lagak ragam dan tata bahasa. Dalam
setiap kalimat yang diucapkan, terdapat dua momen pemahaman, yaitu apa yang
dikatakan dalam konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicara. Setiap
pembicara memiliki waktu dan tempat, dan bahasa dimodifikasi menurut kedua hal
tersebut. Menurut Scheleimacher pemahaman hanya terdapat didalam kedua momen
yang saling berpautan satu sama lain itu. Baik bahasa maupun pembicaranya harus
dipahami sebagaimana seharusnya.
Sedangkan
Paul Recour mendefinisikan hermeneutik sebagai berikut: “Hermeneutik adalah
teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks”.
Berbeda
dengan Scheleiermacher yang meletakan hermeneutika pada bahasa dan berbicara,
Paul Ricoeur memeperluas definisinya dengan menambahkan “perhatian kepada
teks”.Ricoeur, menjelaskan bahwa teks adalah seitiap diskursus yang dibakukan
lewat tulisan.Apa yang dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat
diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan.(Ricoeur 1981)[2]
Teks
sebagai penghubung bahasa isyarat dan symbol-simbol dapat membatasi ruang
lingkup hermeneutika karena budaya oral (ucapan) dapat dipersempit.
Hermeneutika pada hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata yang
diucapkan. Recoeur menegaskan bahwa definisi yang tidak terlalu luas justru
memiliki intensitas.
Dari
pendapat dua tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah studi
tentang peranan bahasa dalam komunikasi dan proses-proses berfikir, serta
khususnya dalam persoalan yang menyangkut bagaimana mengidentifikasi, memahami
atai meyakini bahwa makna muncul pada saat bahasa dipergunakan, baik secara
lisan maupun tulisan.
2. TEORI
METAFORA
Metafora,
kata Monroe adalah “puisi dalam miniatur”.Metafora menghubungkan makna harfiah
dengan makna figuratif dalam karya sastra.Dalam hal ini, karya sastra merupakan
karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit.Di dalam tradisi
positivisme logis, perbedaan makna antara bahasa kognitif dan emotif, yang
kemudian dialihkan menjadi perbedaan menjadi vokabuler denotasi dan
konotasi.Denotasi dianggap sebagai makna kognitif yang merupakan tatanan
semantik, sedangkan konotasi adalah ekstra-semantik.Konotasi terdiri atas
seruan-seruan emotif yang terjadi serentak yang nilai kognitifnya
dangkal.Dengan demikian, arti figurative suatu teks harus dilihat sebagai
hilangnya makna kognitif apapun.Karya sastra dibuka oleh saling berpengaruhnya
makna-makna ini, yang memusatkan analisisnya pada desain herbal, yaitu karya
wacana yang menghasilkan ambiguitas semantik yang mencirikan suatu karya
sastra.Karya wacana inilah yang dapat dilihat dalam miniatur dalam metafora
(Ricoeur).[3]
Dalam
retorika tradisional, metorika digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan
variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata, atau lebih tepatnya
proses denominasi. Tujuan majas adalah mengisi tempat kosong semantik dalam
kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh
karena itu, metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan
kata itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui
pemakaian biasanya (Ricoeur).[4]
Retorika
klasik sebagai majas metafora dipandang sebagai substitusi sederhana dari kata
satu untuk kata yang lain. Metafora klasik hanya mencakup satu ‘bagian’ dari
apa yang disebut Aristoteles dengan diksi, yaitu salah satu dari sekumpulan
prosedur diskursif, penggunaan kata-kata yang tidak lazim, menciptakan
kata-kata baru, mempersingkat atau memperpanjang kata-kata, yang semua
menyimpang dari penggunaan kata-kata secara umum (Ricoeur, 1981: 179via Heru
Kurniawan). Konsep metafora klasik di atas, oleh Ricoeur (1976: 61 via Heru
Kurniawan) disebut dengan metafora mati (death metaphor). Metafora secara
kreatif terjadi karena pesan paling sederhana yang disampaikan melalui bahasa
yang alami harus ditafsirkan, karena semua kata memiliki arti lebih dari satu (polisemi)
dan baru mendapatkan aktualnya jika dikaitkan dengan konteks, dan audien yang
ada, dan bukan dengan latar belakang situasi (Ricoeur, 1977: 125 via Heru
Kurniawan). Metafora hidup atau inventif merupakan inovasi semantik yang bagian
arti dari tatanan predikatif (kesesuaian baru) sekaligus tatanan (penyimpangan
paradigmatis) (Ricoeur, 1977: 156-157 via Heru Kurniawan).
Dengan
demikian, konsep metafora menurut Paul Ricoeur dapat disimpulkan; (1) metafora
terjadi pada wilayah interpretasi dalam satu proposisi yang ditandai oleh unsur
predikasi.Metafora merupakan ketegangan (tension) pada dua dunia (kata) yang
berbeda (difference) karena adanya keserupaan (resemblance) yang ditandai oleh
kehadiran predikasi-universal.Hal ini mengakibatkan ketegangan dalam metafora
sesungguhnya tidak dapat diparafrasekan, artinya, kalaupun bisa, parafrase
semacam ini tidak terbatas dan tidak mampu menjelaskan makna inivatifnya atau
makna tambah (surplus meaning); (2) metafora bukanlah hiasan wacana.Metafora
memiliki lebih dari hanya nilai emotif karena metafora memberi informasi
baru.Metafora hakikatnya menceritakan realitas baru yang dikonstruksi oleh
wacana.[5]
3. TEORI
SIMBOL
Kata
“simbol” yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti “menghubungkan atau
menggabungkan” .symbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah
simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah ekspresi yang
mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur, yang menandai suatu tanda sebagai
simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti gandanya.
Ricouer
merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer,
harfiah, yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak langsung sekunder,
figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama Ricouer mendefinisikan
simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung,
pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak
langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang
pertama.
Simbolisasi
adalah figurasi analogis, dan dapat disamakan dengan metafora, yaitu mengganti
sebuah ujaran dengan penanda yang lain, bukan dengan penanda terdekat seperti
dalam metonimi, tetapi dengan penenda yang mempunyai kemiripan dengan penanda
yang lain, bukan dengan penanda yang mempunyai kemiripan dengan penanda yang
pertama.Tentu saja di sini antara bahasa mimpi dengan bahasa sastra menemukam
perbedaan, dalam bahasa mimpi berupa mekanisme tak sadar, sedangkan dalam
bahasa sastra berupa tindakan sadar.“Setiap kata adalah Simbol”, demikian
ditegaskan Paul Ricoeur (via Sumayono).[6]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sajak
“ Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S
SEMBAH
HYANG
duh gusti allah
menyembah panjenengan
bukan sebab keterbatasan
justru cinta tahu semesta tak
terhinga
untuk apa membutuhkan tempat
sidratul muntaha kenjeng nabi
mendapatkan dhawuh shalat
bila bukan sebab lambang maha
terhormat
shalat itu pasujudan
dari kemuliaan manusia
shalat itu pasujudan
dari pengetahuan manusia
hamba hanyalah setitik hitam
dari umatnya kanjeng nabi
hamba hanya merasa
cintadan kasihsayang panjenengan
bila kanjeng nabi lewat mi’raj
berhadaphadapan dengan panjenengan
bila hamba lewat kanjeng nabi
lewat shalat merasakan ada
panjenengan
duh gusti allah
menyembah panjenengan
bukan sebab keterbatasan
justru cinta tahu semesta tak
terhingga
maka
hamba angkat tangan
ke arah kiblat panjenengan
allahu akbar…..
B. Metafora
dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid B.S
Judul “sembah hyang” dalam puisi di atas menunjukan
bahwa sang penyair adalah seorang yang begitu mengenal tuhan. Kata “sembah”
pada judul ini berarti pernyataan hormat dan khidmat bahkan berserah.Sedangkan
makna “Hyang” di sini dapat berarti dzat yang di anggap maha.Dzat sangat besar
yang dianggap menguasai seluruh alam semesta ini. Bila di jawa kita sering
mendengar orang menyebut Sang Hyang Tunggal yang berarti sang maha Esa, sang
Hyang Wenang berarti sang maha kuasa, sang Hyang Widhi dan lain sebagainya.
Hyang disini berarti maha.
Jadi Sembah Hyang dapat dimaknai sebagai rasa
penghormatan, khidmat, bahkan berserah atas dirinya kepada dzat yang dianggap
maha, yang dianggap sangat besar dimana dzat tersebut mempunyai hak periogratif
atas dirinya.Dimana manusia menggantungkan hidup kepadaNya.
BAIT 1
duh gusti allah
menyembah panjenengan
bukan sebab keterbatasan
justru cinta tahu semesta tak
terhinga
Pada bait pertama ini adalah pengakuan penyair
kepada tuhan, bahwa dirinya melakukan suatu ibadah bukanlah karena dirinya tahu
bahwa dirinya hanyalah makhluk yang penuh dengan keterbatasan. Akan tetapi
cinta penyair terhadap tuhan yang maha besar yang menguasai semestalah, yang
membuat penyair bersujud kepada diriNya.Walaupun penyair menyatakan menyatakan
bahwa dirinya menyembah karena cinta dan bukan karena dirinya adalah makhluk
yang memiliki keterbatasan, namun penyair juga ingin mengingatkan bahwa kita
(manusia) adalah makhluk yang memang serba terbatas.Keterbatasan manusia ini
dibandingkan oleh penyair dengan luasnya semesta raya ini.
BAIT 2
untuk apa membutuhkan tempat
sidratul muntaha kenjeng nabi
mendapatkan dhawuh shalat
bila bukan sebab lambang maha
terhormat
Pada bait kedua ini penyair menyatakan bahwa, Allah
adalah dzat yang maha terhormat. Ini tercermin dalam perintah shalat yang
diperintahkan kepada manusia melalui peristiwa Isra’ Mi’raj oleh kanjeng Nabi
Muhammad.Sehingga dari perintah shalat yang di inginkan Allah adalah bahwa
setiap manusia harus selalu mengingat tentang keberadaan Allah itu sendiri.
Terutama manusia harus mengingatnya melalui shalat wajib lima waktu.
BAIT 3
shalat itu pasujudan
dari kemuliaan manusia
shalat itu pasujudan
dari pengetahuan manusia
Bait ketiga ini mengatakan bahwa, shalat itu akan
mengingatkan kepada manusia bahwa tidak ada kemuliaan didunia ini yang perlu
dibanggakan. Karena tak satu pun kemuliaan di dunia ini yang melebihi kemuliaan
Allah. Maka seseorang harus tetap ingat kepada Allah dengan cara bersujud
kepadaNya. Begitu juga seorang yang berilmu, seorang yang cerdas, pintar dia
harus tetap ingat kepada Allah sebagai dzat yang memberinya semua itu.Intinya
manusia janganlah terlalu membanggakan jabatan, pangkat, ilmu pengetahuan dan
segala yang bersifat sementara ini.Maka kita harus tetap bersujud merendahkan
diri kita dihadapan Allah yang maha mulia, dan yang menguasai seluruh alam
semesta ini termasuk segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini.
BAIT 4
hamba hanyalah setitik hitam
dari umatnya kanjeng nabi
hamba hanya merasa
cinta dan kasihsayang panjenengan
Ini adalah pengakuan dari penyair yang mewakili
setiap individu umat islam di seluruh dunia. Bahwa kita sebagai individu
hanyalah sebagian kecil dan sangat kecil dari umat pengikut nabi Muhammad.Maka
yang yang kita harapkan hanyalah kasih sayang Allah kepada kita.Karena hanya
kasih sayang Allah lah yang menjadi pegangan atau pelindung diri kita untuk
melangkah menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan Allah kepada kita.
Dengan rasa cinta kita kepada Allah maka seluruh masalah kehidupan di bumi ini
akan terasa ringan.
BAIT 5
bila kanjeng nabi lewat mi’raj
berhadaphadapan dengan panjenengan
bila hamba lewat kanjeng nabi
lewat shalat merasakan ada
panjenengan
Bait ini menceritakan ketika Muhammad melakukan
perjalanan Isra’ Mi’raj untuk mendapatkan perintah shalat.Nabi berhadapan
langsung dengan Allah. Tapi umat islamdapat berhadapan dengan Allah melalui
oleh-oleh yang di bawa Muhammad ketika perjalanan Isra’ Mi’raj, yaitu shalat.
Dengan shalat umat islamakan merasakan berhadapan dengan Allah.
BAIT 6
duh gusti allah
menyembah panjenengan
bukan sebab keterbatasan
justru cinta tahu semesta tak
terhingga
Bait ini sama seperti bait pertama, yaitu berisi
tentang pengakuan penyair bahwa dia menyembah tuhan bukan karena penyair adalah
makhluk yang mempunyai keterbatasan. Namun karena cinta penyair terhadap
tuhanlah yang menjadi alasan dirinya untuk menyembah (shalat).
BAIT 7
maka
hamba angkat tangan
ke arah kiblat panjenengan
allahu akbar…..
Maka hamba (penyair) mengangkat tangan ke arah
kiblat dengan melafalkan allahu akbar… takbiratul ikhram pertanda memulai
shalat.
C. Analisis
Simbol dalam Sajak “Sembah Hyang”
1. Sidratul
muntaha
Kata
ini muncul pada bait ke dua. Dalam kalimat “sidratul muntaha kanjeng nabi”, ini
menggambarkan bahwa “sidratulmuntaha” adalah tempat dimana Allah memanggil
kekasihnya yaitu kanjeng Nabi Muhammad untuk saling berhadapan. Jadi maksud
dari kalimat ini adalah proses menghadapnya Nabi Muhammad pada Allah.
2. Pasujudan
Kata
ini muncul dua kali pada bait ke tiga. Dalam kalimat “shalat itu pasujudan”.Pasujudan
mengambarkan tentang kepasrahan, pengabdian, berserah diri, mengingat dan lain
sebagainya.Dalam kalimat tersebut berarti bahwa shalat merupakan sarana manusia
untuk selalu mengingat Allah.
3. Setitik
Hitam
Kata
ini muncul dalam bait ke empat. Dalam kalimat “hamba hanyalah setitik hitam”.Setitik
hitam menggambarkan bahwa sesuatu hanyalah sebagian kecil bahkan sangat kecil
dibandingkan hal-hal disekitarnya. Contoh: hamba hanyalah setitik hitam dari
umat kanjeng nabi. Berarti bahwa hamba hanyalah sebagian kecil bahkan sangat
kecil dari umat kanjeng nabi.
D. Konsep
Mistisme Sembah Hyang dalam Sajak “Sembah Hyang”
Sembah Hyang dapat dimaknai sebagai rasa
penghormatan, khidmat, bahkan berserah atas dirinya kepada dzat yang dianggap
maha, yang dianggap sangat besar dimana dzat tersebut mempunyai hak periogratif
atas dirinya.Dimana manusia menggantungkan hidup kepadaNya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dalam sajak “Sembah Hyang” karya Abdul Wachid BS ini
menceritakan tentang pengungkapan cinta kepada Allah melalui ibadah
shalat.Shalat adalah sarana untuk mengingat tuhan, serta merasa bahwa diri kita
bukanlah siapa-siapa di dunia ini tanpa kita berpegang teguh dengan kebesaran
tuhan.Sajak ini merupakan pengakuan bahwa tiada yang lebih mulia, lebih besar,
lebih segalanya dibandingkan Allah yang maha segalanya.
Kedekatan penyair dengan Allah dalam iktan cinta sangat
terasa dalam sajak ini.Penyair begitu akrab dengan kejadian-kejadian yang di
baliknya mengandung makna-makna yang tak mampu dilihat kebanyakan orang. Dimana
orang kebanyakan merasakan bahwa shalat merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan, akan tetapi penyair menemukan bahwa dibalik shalat itu bukanlah
kewajiban semata, melainkan kenikmatan bercinta dengan sang Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Arif. 2015. Aplikasi Teori Hermeneutika dan Wacana
Kritis. Purwokerto: Kaldera
Kurniawan, Heru. 2013. Mistisme Cahaya. Purwokerto: Kaldera
Palmer, Richard E.
2003. Hermeneutika Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar
Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sisial. Yogyakarta:
Kreasi Wacana
Sumaryono, E. 1999.Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius
Teeuw, A. 1984, Sastra dan Ilmu Sastra, Bandung: Pustaka
Jaya
[1] A.
Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Bandung:
Pustaka Jaya, 1984), hlm. 20.
[2]
Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial(Bantul:
Kreasi Wacana, 2006), hlm. 196. (terjemahan dari buku, “Hermeneutics and the human sciences”, Paul Ricoeur).
[3]
Heru kurniawan, Mistisme Cahaya,
(Purwokerto: Kaldera, 2013), hlm 22.
[4]Ibid., hlm. 23.
[5] Heru kurniawan, Mistisme Cahaya, (Purwokerto: Kaldera, 2013), hlm.26.
[6]
Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Ilmu
Filsafat(Sleman: PT. Kanisius, 1999), hlm. 105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar